Kebenaran Relatif & Kebenaran Mutlak part 1

Kebenaran, satu hal yang ingin diaku oleh semua orang, bukan lagi sekedar pembenaran seperti dulu, yang merupakan alasan dari sebuah kesalahan, namun kebenaran, ya semua orang mengklaim inilah kebenaran. Satu contoh terkini agar lebih mudah, fenomena homoseks dan lesbian. Sebagian besar orang memandang itu sebuah kesalahan, khususnya secara agama. Secara sains pun mereka yang punya pasangan sesama jenis tentu tidak akan bisa menurunkan keturunan, itu esensi berpasangan dari segi biologi, yaitu bereproduksi. Namun saat ini ada sebagian ummat manusia yang melihat dengan cara pandang lain. Homoseks itu adalah hal yang tidak bisa dihindari karena merupakan sifat psikologis orang tersebut yang dibawa sejak lahir, sehingga itu bukan kesalahan, ia pun benar. Ada juga yang menyanggah itu karena pengaruh lingkungan. Di Negara-negara barat pernikahan sesama jenis bahkan dilegalkan, itu suatu kebenaran, bukan kesalahan, jadi tidak apa-apa. Banyak hal lain yang akhirnya rancau antara mana yang benar dan mana yang salah, minum minuman keras, pergaulan bebas, beragama atau tidak beragama, suap menyuap, dan masih banyak lagi, anda punya contoh sendiri mungkin.

Satu hal yang sama, ada yang bilang itu salah, ada juga yang bilang itu benar. Bahkan hal yang sudah ratusan tahun dibilang salah, sekarang pun ada yang bilang benar. Maka disana kebenaran menjadi relatif. Maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebenaran itu mutlak atau relatif? Anda bisa jawab? Saya mempunyai ulasan tersendiri untuk menjawab pertanyaan ini.

Ini sebenarnya terkait dengan posisi, posisi kita benar atau salah. Maka sangat berhubungan dengan definisi posisi dalam sains. Saat kita berada di sebuah kota, di kota Tokyo misalkan, apakah kita di barat atau di timur kota New York? Bisa saja orang bilang kita berada di timur New york, karena saat kita ke timur terus maka kita akan sampai ke Tokyo. Sebaliknya bisa saja orang bilang bahwa Tokyo ada di barat New York, kenapa? Karena saat kita dari New York jalan ke Barat pun kita bisa menemui Tokyo. Semuanya benar bukan? Makanya benar itu relatif, kenapa relatif? Karena kita tidak punya acuan manakah yang benar manakah yang salah. Ya begitu kalau kita bicara posisi atau jarak dari segi sains, ia akan menjadi relatif ketika tidak ada titik acuan, pun begitu dengan gerak. Ada sebuah batu diam diatas tanah bergerak kah dia?. Ada tiga pilihan, kita bisa bilang dia bergerak kalau titik acuan adalah matahari, karena bumi bergerak maka batu yang ada diatasnya juga bergerak, tapi kita bisa bilang batu diam kalau titik acuannya tanah, ia tidak bergerak terhadap tanah. Tetapi kita tidak bisa mengatakan dia bergerak atau tidak jika kita tidak memilih acuannya. Silakan cari contoh lain yang relevan, hal yang ingin saya katakan adalah semua itu bisa relatif. Lalu kapan sesuatu bisa jadi mutlak, nah jawabanya ada dalam contoh, yaitu titik acuan. Jika kita sudah mempunyai acuan konsensus dunia maka secara mutlak kita katakan bahwa New York berada di barat Tokyo dan batu yang diam diatas tanah secara mutlak kita katakan ia diam bila sudah kita putuskan bahwa titik acuannya adalah tanah itu sendiri.

Maka kesimpulannya adalah kebenaran itu relatif bila kita tidak mempunyai acuan. Jadi bagaimana dengan kasus-kasus nyata yang ada? Apakah kasus homoseks itu ada acuannya? Apakah dalam beragama juga ada acuannya? Acuan itu ada, hanya saja seperti contoh diatas, kitalah yang memilih apakah akan menggunakan acuan atau tidak, menggunakan acuan pun juga harus memilih, mana acuan yang benar mana yang tidak, tentunya dengan berfikir logis kita bisa memilihnya.

Kita coba bertahap, apakah acuan kebenaran dalam sebuah perusahaan? Di perusahaan anda merokok dikantor itu salah atau benar? Ya disana ada acuan yaitu peraturan atau kode etik perusahaan. Maka hal-hal yang melanggar peraturan itu secara mutlak kita katakan salah. Sekali lagi ini di dalam perusahaan. Lebih besar lagi di sebuah Negara, apakah korupsi itu salah atau benar? Di Negara ada sebuah acuan untuk menentukan mana yang salah mana yang benar, yaitu undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang ada di Negara, karena ada undang-undang yang menyatakan korupsi itu salah, maka secara mutlak kita katakan korupsi itu salah dalam sebuah negara. Selanjutnya hal yang paling luas, kebenaran untuk seluruh alam semesta, untuk seluruh manusia juga tentunya. Ada dua pilihan, apakah kita akan menggunakan acuan hukum Tuhan, atau yang kedua, kita tidak ingin mengambil acuan itu dengan tidak mempercayai adanya Tuhan (atheisme). Ya disinilah letak keimanan, memilih antara beriman atau kafir, jika kita beriman tentu kita akan mempunyai acuan yang jelas dalam segala hal dalam hidup kita, acuan mana yang benar dan mana yang salah itu jelas, ada didalam aturan agama. Karena saya orang Islam, maka jelas acuan saya adalah Al-Qur’an, hadits rasulullah dan Ijtihad ulama. Acuan sumber hukum yang lengkap mencakup segala hal, karena sesuatu yang tidak ada secara ekplisit di Qur’an maupun Hadits akan dicover oleh ijtihad ulama untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Pilihan kedua untuk menjadi atheis, dengan menjadi atheis tentu Anda tidak punya suatu acuan kebenaran mutlak yang berlaku universal bagi diri anda. Mau korupsi atau tidak, homoseks atau tidak, minum minuman keras atau tidak akan tergantung dengan di Negara mana anda berada, ada undang-undang yang melarangnya atau tidak. Ya menurut saya disana letak iman, memilih meyakini adaanya Tuhan atau menjadi atheis, selebihnya, agama apa yang anda pilih sebagai jalan menuju Tuhan, itu bukan lagi keyakinan saja, tapi harus dengan berfikir baik secara ilmiah maupun dari sejarah, manakah agama yang benar. Silakan memilih, memillih untuk mempunyai acuan dalam hidup atau tidak, memilih beriman atau atheis.

Ilmu pengetahuan, bahkan ilmuwan amerika dan eropa belum atau mungkin tidak bisa menjelaskan sampai apakah sebenarnya awal dari segala hal di alam semesta ini. Penganut materialisme meyakini awal dari segala hal adalah material itu sendiri, mereka tidak percaya Tuhan sebagai yang awal, namun sebenarnya dengan meyakini material sebagai yang awal, mereka sama saja meyakini bahwa “tuhan” adalah material. Periode berikutnya, ilmu berkembang, material ternyata bukanlah yang awal, karena ternyata atom pun bisa terbentuk, ilmu pengetahuan membuktikan adanya big bang sebagai awal dari alam semesta, dari ketiadaan material menjadi ada, begitu terus sampai sekarang bukti-bukti ilmiah belum atau tidak pernah bisa membuktikan sebenarnya secara empirik apakah awal yang benar-benar paling awal dari alam semesta ini. Maka semua orang akhirnya punya pilihan, ketika ada seseorang yang disebut Rasul mengabarkan bahwa awal dari semua ini adalah Tuhan, dan Ia yang memiliki kebenaran mutlak karena Ia yang menciptakan segalanya. Bahkan karena manusia memang cenderung pada hal-hal empiris, maka ada tanda-tanda empiris yang juga diperlihatkan, misal Isa yang bisa menghidupkan orang mati (dengan seizin Allah), Al-Qur’an yang telah menjelaskan proses terjadinya hujan dan manusia saat ilmu alam belum berkembang, Musa yang bisa membelah laut dengan tongkat dsb. Ya disini letak Iman, tidak sekedar keyakinan, tapi ada tanda-tanda empiris dan logis mengapa kita menerimanya. Ketika akhirnya tetap memilih Islam pun, ada pertimbangan logika, sejarah dan hal-hal empiris lain, beriman bukan fanatik buta, tetapi juga ada landasan berpikir. Maka saya tidak bingung lagi dengan mana yang benar karena Islam adalah pegangan kebenaran mutlak bagi saya.

Tinggalkan komentar