Soft Skill alumni ITB di Dunia Kerja Rendah?

Pernah baca artikel tentang seorang recruiter/HRD yang melihat bahwa kebanyakan alumni ITB itu arogan, kutu loncat, mau menang sendiri, soft skill kurang dsb? Bahkan dosen-dosen di ITB pun banyak yang konsen ke hal ini. Kata mereka, IQ anak ITB memang tinggi, hard skill, kemampuan akademis dan ketrampilan bagus tapi ada satu yang jadi masalah besar, EQ nya, soft skill nya. Sampai-sampai di ITB ada banyak pelatihan untuk soft skill, mulai dari training SSDK, IPK, latpim ITB dsb. Di satu sisi memang ini hal yang bagus untuk memperbaiki kualitas alumni ITB, kritik yang kemudian ditindaklanjuti dengan program nyata dari kampus sangat baik. Hanya saja judgement yang ada bahwa alumni ITB lemah dalam segi soft skill dibanding lulusan lain ini yang saya lihat tidak pas.

Padahal belum pernah ada data statistik yang secara valid menyatakanya, hanya pendapat segelintir orang yang kemudian di generalisasi. Generalisasi ini yang saya tidak sepakat, saya juga tidak sepakat dengan kesimpulan bahwa orang yang IQ tinggi juga anak teknik EQ nya rendah, ada banyak factor lain yang mempengaruhi soft skill seseorang, bukan soal jurusan, universitas atau IQ. Sekali lagi di satu sisi baik untuk perbaikan diri, hanya judgement yang ada juga akan menimbulkan opini negatif bagi yang menelan mentah-mentah informasi itu. Bahkan dari pengalaman dan diskusi yang saya lakukan, saya malah menemukan hal sebaliknya, justru banyak alumni ITB yang karena soft skillnya juga akhirnya sukses. Ini beberapa hal pengalaman saya

Tentang “kutu loncat”

Saya pernah diskusi dengan beberapa teman di universitas yang lain, dan kata mereka, alumni mereka juga banyak yang seperti itu, pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Faktor apa yang mempengaruhi? Ternyata dari pengamatan saya ada banyak, bukan hanya sekedar ia merasa pinter dan arogan. Salah satunya karena,

Ada kesempatan baru yang lebih menjanjikan sedangkan di perusahaan lamanya ia stagnan. Disini isu yang paling dimunculkan adalah loyalitas, mereka yang pindah perusahaan karena hal ini dicap tidak loyal, padahal di beberapa perusahaan besar, jika ia ingin masuk ke perusahaan tersebut karena merasa di perusahaan lamanya ia tidak berkembang, stagnan, ia malah dihargai. Kenapa? Karena ia mempunyai motivasi berprestasi dan berkembang tinggi dan ia memilih perusahaan baru tersebut sebagai tempat merealisasikan motivasinya. Gampang saja contohnya, misal anda di perusahaan X sudah lima tahun masih menjadi staff terus, padahal anda punya kapasitas dan dicari perusahaan Y untuk jadi manajer, maka apakah anda “loyal” terus menjadi staff atau pindah untuk meraih prestasi lebih tinggi? Terserah pilihan anda, tapi kalau saya jelas pilih opsi kedua dan tidak bisa disalahkan karena ini pilihan.

Satu yang penting, cara orang memilih ini tidak dipengaruhi 100% oleh apa almamaternya, namun yang lebih berpengaruh adalah kepribadian seseorang, apakah dia ingi terus berkembang dan punya kemampuan untuk itu atau tidak. Banyak juga alumni universitas lain yang seperti ini, ini pilihan. Tapi banyak juga lho alumni ITB yang “loyal”, kenapa? Karena diperusahaanya dia mendapat perkembangan (kenaikan jabatan, gaji dsb) yang sesuai dengan harapanya, ada juga yang karena males ngelamar-ngelamar lagi.

Tentang meminta gaji tinggi

Katanya, alumni ITB, fresh graduate sekalipun kalau ditanya gaji sebagaian besar mematok harga yang lebih tinggi. Bila banyak fresh graduate sudah cukup dengan gaji 4 juta per bulan, anak ITB masih merasa kurang dengan gaji 5 juta per bulan. Hal ini ternyata juga tidak hanya terdapat di alumni ITB, saya punya kenalan alumni Unpad dan dia pun seperti itu. Saya rasa semua orang ingin gaji yang tinggi, yang berbeda hanya bagaimana ia menilai diri sendiri, kepercayaan diri akan kapasitasnhya sehingga bermuara bagaimana ia mematok harga terendah untuk gajinya. Ada juga yang berpikiran yang penting kerja, berapapun gajinya. Kalau ada yang melihat meminta gaji tinggi ini suatu kekurangan, ternyata banyak juga juga yang melihat ini sebagai kelebihan, tentunya juga dibuktikan dengan prestasi kerjanyanya. Jika ia mempunyai kapasitas dan prestasi bagus meminta gaji tinggi wajar menurut saya, toh itu permintaan bukan harga pas yang tidak bisa di negosiasikan. Saya kurang sepakat dengan tulisan seorang recruiter yang menyebut itu sebagai arogansi, lha wong dia ditanya mau digaji berapa, ya dijawab berapa yang diinginkanya, setelah di jawab eh malah dianggap arogan.

Tentang merasa paling bisa (arogan)

Katanya ketika alumni ITB kumpul bareng dengan alumni universitas lain, maka ia selalu ingin menjadi pemimpin, I am ITB, I am leader, you are follower, begitu. Hmm kasus ini saya ambil contoh di tempat kerja praktek saya saja. Disana ada kakak kelas yang menjadi supervisor, setelah setahun bekerja ia diangkat jadi karyawan tetap, manajernya bukan dari ITB tapi ia bisa bertahan dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Satu lagi ada alumni universitas swasta, setelah bekerja 6 bulan ia di PHK, tidak tahu alasanya. Tapi selama berinteraksi disana, ia memang selalu ingin menjadi leader, mengatur orang lain padahal setara dengan dia jabatanya. Ya dari sana saya bisa melihat alumni ITB malah bisa beradaptasi baik sebagai pimpinan maupun staf. Intinya arogan atau tidak arogan itu tergantung pada setiap individu tidak bisa digeneralisir juga.

Tentang sifat sombong tidak mau bekerja karena enggan menjadi bawahan

Ada juga yang seperti  ini, dan sang recruiter itu juga bilang ditulisanya bahwa salah satu temannya alumni ITB ada yang tidak mau daftar bekerja, ia memilih berbisnis walaupun sering gagal. Ia melihat hal ini sebagai hal yang negatif, alumni ITB sombong, maunya langsung jadi bos. Saya rasa ada dua kesalahan di sini, pertama ia lagi-lagi melakukan generalisasi, kedua orang yang tidak mau daftar kerja dan tidak mau diatur-atur sebagai bawahan saya rasa juga bukan hal yang buruk. Ini juga sebuah pilihan hidup, ingin seperti apa dia, memang banya alumni ITB yang seperti ini dan menurut saya justru bagus. Karena orang-orang bermental seperti ini yang akan menjadi seperti aburizal bakrie, arifin panigoro, TP. Rachmat dan pengusaha-pengusaha lain, Indonesia juga butuh orang “sombong” seperti ini. Saya juga punya teman, ia juga bilang,” gw gak mau daftar kerja, gw mau bisnis” dan ternyata setelah setahun berjalan bisnisnya sudah cukup berjalan, mendapat beberapa penghargaan dsb.

Tentang pilih-pilih perusahaan

Ada juga ya yang melihat pilih-pilih perusahaan sebagai sikap mental negatif. Hal yang satu ini memang saya temui pada hampir semua alumni ITB, namun saya yakin, ini juga ada di hampir semua kampus favorit di Indonesia. Di saat banyak orang susah mencari kerja, anak ITB malah pilih-pilih tempat kerja katanya. Kalau saya melihat justru ini hal yang bagus, ia bekerja berarti bukan hanya sekedar untuk mencari uang namun ada hal lain dalam visinya yang mempengaruhi. Banyak orang saat jobfair, menyebar CV nya ke semua perusahaan, atau setidaknya ke semua perusahaan yang sesuai dengan bidangnya, tidak salah karena target dia mendapat pekerjaan, titik. Kalau saya sebaliknya, dan mungkin banyak alumni ITB atau alumni universitas lain juga. Saat kemarin ada jobfair di ITB saya hanya ke stand biofarma, opsi 1 saya memang ingin masuk perusahaan farmasi yang berlokasi di sekitar Bandung, kenapa? Karena saya punya Visi di balik itu, ada sesuatu di Bandung yang tidak bisa saya tinggalkan dan bekerja pun, opsi 1 saya juga bukan untuk selamanya, ada visi lain 5 tahun kedepan. Salahkah pilih-pilih? Tidak juga, setiap orang punya visi masing-masing.

Banyak sepertinya yang ingin saya tulis, tapi kalau kepanjangan tidak bagus juga. Intinya hal yang ingin saya sampaikan kepada alumni ITB adalah kritik apapun itu, terima dan gunakan sebagai sarana untuk memperbaiki diri, disisi lain jangan sampai judgement negatif yang ada membuat kita merasa pesimis dan tidak percaya diri, sejarah telah mencatat peran alumni ITB untuk bangsa ini, mungkin sekarang kita bukan putera-puteri terbaik bangsa lagi, tetapi yakinlah bangsa ini sangat butuh alumni ITB untuk mencapai kejayaanya.

5 responses to “Soft Skill alumni ITB di Dunia Kerja Rendah?

  1. yup… saya setuju, saya juga pernah baca artikelnya, menurut saya terlalu subjektif, mostly cuma berupa opini reviewer saja, sempat juga kesal karena tulisannya seolah-olah memojokan itebe sebgai ptn yg menghasilkan lulusan yg spt anda bilang, pdhl bnyak skli lulusan itebe yg skrg udh ngisi posisi strategis baik di pmrntahan maupun yg mnjbt sbg ptinggi2 di prshaan2 trnma 🙂

  2. Setuju dengan pendapat mas wahyu,
    Hal terpenting sebenarnya mengetahui kelebihan dan kekurangan diri. Alangkah lebih baiknya jika sudah mengetahui dilanjutkan dengan memanfaatkan kelebihan , dan mengoreksi kekurangan diri. Jadilah pribadi lulusan ITB dengan High Quality IQ dan EQ.

    Mudah2an rekan2 di Farmasi lebih open mind dengan blog nya mas Wahyu.

    Salam
    Abdul Murat Suryono S.Si, Apt / FA2002
    TRAC – Astra Rent a Car/Astra International

  3. udah lama ya tulisannya. hehe 😀

    tapi saya justru setuju dengan recruiter tersebut. artinya, sebatas metodenya yg hanya observasi (anda semua tahu lha ya kelemahan observasi), semuanya banyak benernya. namanya juga generalisasi ya secara general (umum) saja.

    justru dari pendapat recruiter tersebut, artinya alumni ITB punya karakter yg kuat/kokoh. maksudnya secara spesifik jadi ciri khas alumni kampus tertentu. saya tidak bilang salah atau benar lho. bagi saya, punya karakter yg konsisten dari alumni ke alumni lebih baik daripada lulusan yang tidak jelas kesamaan karakternya. hehe 😀

    anyway, klo ada yg sakit hati dengan pendapat recruiter tersebut, berarti kamu terlalu pake hati pas bacanya. hehehehehehe 😀

  4. gak semua anak itb kaya gitu meskipun kebanyakan kaya gitu hehehe.. temen saya kerja di astra ada anak itb kerja di sana, tmen saya kadang kasihan sama anak itb itu krn dia sering kena semprot atasannya, krn terlalu cuek dan gak punya inisiatif hanya menunggu perintah dari manajer, alhasil apa saat kontrak berakhir guess what?? hehehe… menurut saya kepintaran mereka tidak diikuti dgn leadership dan jiwa nasionalis yg tinggi, semenjak peristiwa 1978 kampus dikuasai militer saat itulah MUNGKIN indoktrinasi dilakukan orba, seharusnya mahasiswa berkarakter mandiri berdikari mulai dicekoki kapitalisme sehingga lebih penurut dan pragmatis, pasti beda anak2 itb jaman dulu sama sekarang contoh nya bung karno alumni itb juga. FYI kemaren waktu tes penerimaan karyawan di PT Dirgantara Indonesia kebanyakan dari swasta krn gaji pokok di sana cuma 2.4 juta ternyata secara realistis bisa mengalahkan nasionalisme secara itu cita2 bangsa. kalo pun ada maaf apa bisa jamin bertahan lama berkarya? KEMUNGKINAN besar mereka akan pindah entah ke perusahaan tambang asal amerika, entah ke perusahaan minyak asal amerika. kalo bung karno masih ada bisa2 marah tuh mengemis2 kerjaan ke amerika hehehe… alumni itb sekarang adalah produk dari universitas perlu dibenahi sistemnya agar tak hanya akademik skill sama yg berkembang tapi soft skill nya juga, dan yg terpenting daripada itu adalah jiwa nasionalisnya tanpa nasionalisme kita semakin apatis berkarya untuk bangsa ini.

Tinggalkan komentar